Saya tiba-tiba ingat kejadian ini bulan Januari lalu.
Di tempat saya sebelumnya, acap kali membawa saya ke daerah-daerah pelosok di negeri ini, namun jadi “mesin uang” para orang kaya di kota besar. Dalam perjalanan menuju “mesin uang” tersebut yang membuat pemiliknya sugih, kerap yang saya liat masyrakat marjinal. Ya, ngertikan ya kira-kira gimana. Seadanya. Rumah mereka seadanya dengan fasilitas sekitar rumah seadanya juga. Pekerjaan kepala keluarganya mungkin jadi buruh di dekat mesin uang itu. Mungkin berjualan makanan untuk mensupplai para buruh.
Tiba-tiba di otak saya berputar kembali sebuah episode 9 tahun lalu. Ketika menuju salah satu lokasi “mesin uang” ini.
“Ngelongso” kata salah satu rekan perjalanan saya melihat masyarakat di sana. Tinggal di rumah kayu yang luasnya tidak seberapa.
Saya hanya tersenyum getir dan (pastinya) bersyukur atas yang saya punya saat itu.
“Untung saya tidak terlahir dan besar di tempat seperti itu” dalam hati saya.
Ya, dulu saya berguman seperti itu.Ya, bisa jadi mereka menikmati hidup mereka. Tanpa macet, tanpa bising, tanpa polusi udara.
Sekarang, being melancholic thinker who thinks too much I am, saya lalu berpikir. Bagaimana seandainya saya terlahir di masyarakat itu? Apa yang kira-kira akan saya lakukan untuk keluar dari lingkaran yang itu-itu saja?
Mbak Ky, itu maksudnya Nelongso kah?
iya 🙂
[…] cross my mind again, those people I saw, di tulisan yang ini, mungkin ada yang berpikiran/atau telah menjadi TKW. Jenuh dengan lingkaran yang itu-itu saja. […]